BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam di samping membahas masalah ibadah-ibadah ritual yang
bersifat mahdah, Islam juga membahas permasalahan jual beli secara mendetail.
Dalam Islam tidak mengenal dikotomi antara aktivitas duniawi dengan ukhrawi.
Setiap aktivitas dunia senantiasa berkaitan erat dengan aktivitas akhirat
sehingga harus berada dalam bingkai ajaran Islam.
Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rezeki supaya kehidupan
mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut
dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia.
Dalam beberapa hadist Rasulullah SAW memberikan dorongan kepada
ummatnya untuk mencari rezeki dengan berusaha dan berdagang. Rasulullah sendiri
adalah contoh seorang pedagang yang sukses.
Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian tak terkecuali
jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawan dari
manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk perdagangan Islam
mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan
syirkah.
B.
Tujuan Penulisan
Karena islam merupakan agama yang mengatur menyeluruh,sampai kepada
yang kecil islam mengatur seluruh kegiatan yang sehingga terhindar dari
mudharat. kami berharap dengan adanya makalah ini,kami harap kepada kawan-kawan
agar terhindar dari perniagaan atau jual beli yang mengandung gharar karena
mudharatnya bisa menghancurkan ukhuwah yang ada di ummat islam ini.
C.
Batasan Masalah
Dalam ruang lingkup permasalahan makalah kami ini,kami membatasi
isi makalah ini dalam sebuah ruang lingkup permasalahan jual beli yang
mengandung dan segala yang berkaitan tentang ini.
JUAL BELI
GHARAR(الْغَرَرِ)
Surah
al baqarah : 188
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)
Artinya: ”Dan janganlah (saling) memakan harta
di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan
harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian
dapat memakan sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.”
K
|
ata gharar di dalam Al-qur’an diulang sebanyak
13 kali dengan segala derivasinya. Di dalam ayat di atas dijelaskan bahwa
apabila melakukan perniagaan kita mestinya harus dilakukan suka sama suka agar
tidak ada yang dirugikan. Salah satu perniagaan yang dapat merugikan baik
penjual ataupun pembeli adalah dengan jual beli yang mengandung gharar. Kata ”al-gharar“ dalam bahasa
Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر)
yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta
menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan. Di
dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan
yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya,atau
memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.[1]
Menurut M.Ali Hasan gharar adalah keraguan,tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk
merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsure penipuan,karena tidak ada
kepastian, baik yang mengenai ada atau tidak ada objek akad,besar kecil jumlah
maupun menyerahkan objek akad tersebut.[2]
Kembali
kepada ayat di atas, dalam kitab asbabun nuzul yang di tulis oleh
K.H.Q.SHALEH,H.A.A.DAHLAN,dkk ayat ini turun berkenaan dengan Umru-ul Qais bin
‘abdan bin Asywa’ al-Hadlrami yang bertengkar dalam soal tanah. Umru-ul Qais
berusaha mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan sumpah di depan
hakim.ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang
dengan jalan batil.[3]
Jika
kita kaitkan dengan jual beli gharar kata “Dan janganlah (saling) memakan harta di antara
kalian dengan (cara yang) batil” merupakan suatu contoh jual beli gharar.
Dimana apabila seseorang melakukan jual beli yang mengandung gharar akan dikategorikan
sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau kita lihat
pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk
merugikan baik si penjual ataupun si pembeli. Sebagai contoh :
Ada
seseorang yang memiliki pohon durian dan pohon tersebut nampak memilki bunga,si
A yang merupakan sorang penjual buah durian di pasar membayar buah durian
tersebut sebelum matang atau masih dalam keadaan bunga. Si B pun menyetujuinya
dan menerima uang dari si A yang telah membayar pohon si B. Suatu saat si A
ingin memanen buah yang telah di belinya tersebut kepada si B tetapi
kenyataanya buah tersebut kebanyakan rusak,tidak sesuai dengan harapan si A.
Dalam
contoh di atas jelas kita lihat bahwa si A dirugikan karena tidak mendapatkan
hasil yang sesuai dengan harapan si A. Islam merupakan agama yang paling
sempurna melarang jual beli seperti itu. dalam buku yang ditulis oleh Afzalur Rahman kitab
suci Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis
yang mengandung unsur kecurangan dalam
segala bentuk terhadap pihak lain : Hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau
kejahatan,atau memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau resiko. Yang
menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya.[4]
Menurut Syekh Muhammad Mutawally Sya’rawi,pada
ayat di atas Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta disini adalah
milik umum. Terkadang harta itu milik pribadi,namun dalam waktu yang sama di
dalam harta pribadi itu terdapat juga di dalamnya milik orang lain,dalam hal
ini harta itu dapat dikategorikan milik orang banyak. Penentu dari perputaran
harta milik umum itu adalah Allah bukan yang lainnya. Karena dengan menuruti
hukum Allah tidak akan terjadi penzaliman terhadap harta orang lain.
Ayat
ini juga mengandung hukum pelarangan dari segala bentk
pencurian,perampokan,pencopetan dan korupsi. Seakan-akan Allah Swt mengatakan:
”Jangan sekali-kali kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu,”
karena jika kamu berkhianat berarti kamu telah memakan harta dengan batil.[5]
Hadis
larangan menjual makanan sebelum matang:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى
الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah Shallallu 'alaihi wa
sallam melarang menjual buah-buahan hingga tampak matangnya, beliau melarang hal
itu kepada penjual dan pembeli. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallu 'alaihi wa sallam
seperti hadits di atas.
Kesimpulan Hadis:
1)
Larangan menjual buah-buahan sebelum tampak
matang.
2)
Larangan itu mengharuskan kerusakan,sehingga
jual bel buah-buahan yang belum matang tidak sah.
3)
Boleh menjualnya setelah tampak matang,dengan
syarat pemutusan pada saat itu pula
4)
Hikmah larangan ini,bahwa sebelum matang,buah-buahan
masih rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka
pembelilah yang harus menanggungnya,sehingga tidak ada manfaat yang dia
peroleh,sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain.[6]
Menurut Abdul Halim Hasan adapun maksud “Memakan
harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil” ialah
mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak dibolehkan syarak,sekalipun
yang memiliki harta merasa ridha dan senang hati menyerahkan hartanya itu.[7]
Konsep gharar
dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1)
Kelompok
pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan,probabilitas dan ketidakpastian
secara dominan.
2)
Sedangkan
kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan
oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
A. DASAR HUKUM GHARAR
Ø Pada Hadits Rasulullah.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”
D
|
ari sabda Rasulullah di atas jelas telah dikatakan Rasulullah SAW bahwa
jual beli gharar itu merupakan hal yang dilarang jadi tidak ada alasan untuk
kita untuk melakukan jual beli yang seperti ini. Sangat besar mudharatnya
apabila kita sebagai ummat beliau melakukan ataupun melanggar larangan beliau
karena ini akan menimbulkan sebuah perpecahan di internal ummat islam sendiri
dan akan menimbulkan kebencian karena telah terjadi kecurangan antara penjual
dan pembeli.
Jika
kita kaitkan kepada kehidupan kita sekarang, kita mungkiin akan di belit oleh
masalah hukum yang memang telah di tegakkan di sekitar kita. Tetapi jika kita
kaitkan ke kehidupan akhirat, kita akan mendapatkan belasan dari Allah SWT
sesuai dengan kalam Allah di Al-qur’an pada surah Al-Zalalah ayat 8 :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
شَرًّا يَرَهُ (٨)
“dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya
Dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Gharar merupakan suatu
kegiatan yang memilki potensi untuk membuat kita meraup untung
sebanyak-banyaknya,makanya manusia bisa terlena ke dalam jual beli ini. Dan
nabi Muhammad SAW merupakan sosok nabi terakhir yang di turunkan untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak manusia yang kurang sesuai dengan syari’at islam. Dan melarang
ummatnya melakukan jual beli gharar karena pada masa itu jual beli ini marak terjadi
pada ummat islam pada saati itu dan sekarang.
Ø Pada Surah
An-Nisa : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ
تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
Artinya:“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu
sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan
jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan
janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa
Mengasihani kamu.”
Menurut Abdullah Yusuf Ali ayat ini mengandung makna:
(1) semua harta
kekayaan kita yang kita pegang sebagai amanat,baik itu atas nama kita,atau
kepunyaan masyarakat atau rakyat di bawah pengawasan kita,pemborosannya tidak
dibenarkan.
(2) kita
menjumpai ayat yang sama dalam Al-Baqarah ayat 188 yang memberi peringatan
kepada kita terhadap sifat serakah. Disini terdapat isyarat yang mendorong kita
agar dalam mengembangkan harta ditempuh cara perdagangan (lalu lntas niaga).
(3) kepada kita diingatkan bahwa keborosan dapat
menghancurkan kita sendiri. Tetapi disini juga terdapat makan yang lebih
bersifat umum: kita harus berhati-hati terhadap hidup kita dan
hidup orang lain. Tidak boleh kita memperlakukan kekerasan. Ini sebaliknya
daripada “cara perdagangan atas dasar suka sama suka”.
(4) sikap kekerasaan terhadap saudara-saudara kita
sediri sungguh tidak pantas,mengingat Allah mencintai kita dan selalu melimpahkan
rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya.[8]
Menurut Maraghi di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya
berbagai faedah:
1. Dasar halalnya perniagaan adalah saling meridhai
antara pembeli dan penjual. Penipuan,pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal
yang diharamkan.
2. Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa
yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak
tetap,hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri demi
kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
3.
Mengisyaratkan
bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan
batil. Sebab pembatasan nilai sesuatu dan menjadikan harganya sesuai dengan
ukurannya berdasar neraca yang lurus hampir-hampir merupakan sesuatu yang mustahil.
Oleh sebab itu, disini berlaku toleransi jika salah satu diantara dua benda
pengganti lebih besar daripada yang lainnya,atau yang menjadi penyebab
tambahnya harga itu adalah kepandaian pedagang di dalam menghiasi barang-barang
dagangannya,dan melariskannya dengan perkataan yang indah tanpa pemalsuan dan
penipuan.[9]
B. CARA MENGHINDARI PERNIAGAAN YANG MENGANDUNG
GHARAR.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
(٢٩)
29. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
D
|
alam ayat ini
di jelaskan bahwa kita dituntut agar melakukan jual beli dengan ikhlas dan suka
sama suka. Di dalam buku Abdullah lam bin Ibrahim yang berjudul Fiqh
Finansial di muat suatu syarat
perniagaan yang baik berkenaan dengan ayat di atas karena kita di suruh leh
ALLAH SWT untuk melakukak perniagaan yang baik dan sesuai dengan syari’at
islam. Adapun syarat untuk melakukan
perniagaan dengan baik adalah :
1.
Beriman kepada ALLAH Swt.
Hal itu,karena amal perbuatan harus dilandasi
oleh keimanan agarmenjadi amal yang dapat diterima,dan termasuk di dalam amal
tersebut adalah membelanjakan harta. Adapun dalilnya adalah :
قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ
كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ (٥٣)وَمَا
مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ
وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلا
وَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)
Artinya:
53. Katakanlah:
"Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, Namun
nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang fasik.
54. dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk
diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada
Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan
malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa
enggan.
Ayat ini
memberikan pengarahan,bahwa sesungguhnya yang menghalangi diterimanya
pengeluaran infaq kaum uslimin adalah lantaran kefasikan dan kekufuran mereka
kepada ALLAH Swt. dan Rasul-Nya,dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa syarat
di terimanya infaq adalah harus ada keimanan kepada ALLAH SWT.
2.
Ikhlas karena ALLAH Swt semata.
setiap muslim ketika membelanjakan harta benda
dan berinfaq harus meluruskan niatnya,agar itu benar-benar ikhlas karena ALLAH
semata tidak bo;eh bercampur dengan sifat riya’nya dan juga demi mengharapkan
ridha Allah Swt. sedangkan dalilnya sebagai berikut :
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلأنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلا
ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ
لا تُظْلَمُونَ (٢٧٢)
272. bukanlah kewajibanmu
menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi
petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu
sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu
akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan).
Ayat ini memerintahkan orang-orang yang
beriman agar berinfak dengan niat untuk memperoleh ridha Allah Swt semata,dan
itulah yang disebut ikhlas.
3.
Usaha yang baik
Di antara syarat diterimanya infak dan
pembelanjaan harta benda adalah,harta tersebut harus diperoleh dengan cara yang
disyariatkan dan baik,bukan dengan cara yang diharamkan.
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)
276. Allah memusnahkan
Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Ayat ini menerangkan bahwa,sesungguhnya Allah
Swt tidak akan menerima sedekah,hajinya,jihadnya dan silaturahminya orang-orang
yang mempraktikkan riba. Sesungguhnya Allah Swt menumbuhkan dan menyuburkan
sedekah di dunia dengan keberkahan, dan memperbanyak pahalanya dengan berlipat
ganda di akhirat.[10]
C.
RUKUN JUAL BELI
s
|
elain
kita tahu cara untuk melakukan perniagaan yang baik maka lebih baik mengetahui
rukun jual beli agar tidak melenceng dari syari’at islam. Rukun merupakan suatu
pedoman atau pembimbing agar tidak keluar dari koridor yang telah di tentukan.
Karena kalau sudah keluar dari koridor yang telah ditentukan maka akan
berpotensi untuk melakukan suatu perniagaan yang bathil. Misalnya itu gharar.
Adapun rukunnya yaitu :
1.
Penjual dan
pembeli
Syaratnya adalah :
a)
Berakal
b)
Dengan kehendak
sendiri(suka sama suka)
c)
Tidak mubazzir
d)
Baligh
2.
Uang dan benda
yang di beli
Syaratnya adalah :
a)
Suci,Barang
najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum
disamak.
b)
Ada
manfaatnya,tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula
mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalm arti
menyia-nyiakan(memboroskan) harta yang terlarang dalam Al-Qur’an.
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
c)
Barang itu
dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan
kepada yang membeli, misalnya akan yang ada dalm laut,barang rampasan yang
masih berada di tangan yang merampasnya,barang yang sedang dijaminkan,sebab
semua itu mengandung tipu daya.
d)
Barang tersebut
merupakan kepunyaan si penjual,kepunyaan yang diwakilinya,atau yang
mengusahakannya.
e)
Barang tersebut
diketahui si penjual dan si pembeli baik itu zat,kadar,sifatnya dengan jelas
sehingga antara keduanya tidak ada lagi unsur tipu daya.
3.
Lafaz ijab dan
kabul
Ijab adalah perkataan si penjual,
dan kabul adalah perkataan si pembeli.Menurut kebanyakan ulama suka sama suka
diketahui dengan jelas melalui perkataan yaitu ijab dan kabul. Tetapi menurut
Nawawi, Mutawali, Bagawi, lafaz itu bukan merupakan rukun, hanya menurut adat
kebiasaan saja.
Menurut ulama yang mewajibkan
lafaz,lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat :
a)
Keadaan ijab
dan kabul berhubungan. Artinya sala satu dari keduanya pantas menjadi jawaban
dari yang lain dan belum berselang lama.
b)
Makna keduanya
hendaklah mufakat walaupun lafaz kedua-duanya berlainan.
c)
Keduanya tidak
disangkutkan dengan urusan yang lain,seperti katanya,”Kalau saya jadi
pergi,saya jual barang ini sekian.”
d)
Tidak berwaktu,
sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.[11]
D. Bentuk-Bentuk jual beli gharar.
a.
Yang dilarang
Menurut
ulama fiqih, bentuk-bentuk gharar yang di larang adalah :
1.
Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad
pada waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada. Umpamanya : menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak
tanpa menjual induknya.
2.
Menjual sesuatu
yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yang sudah dibeli
dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh
menjual barang itu kepada pembeli lain.
Akad semacam ini mengandung gharar,
karena terdapat kemungkinan rusak atau hilang objek
akad, sehingga akad jual beli pertama dan yang kedua menjadi batal.
3.
Tidak ada
kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
Wahbah az-Zuhaili berpendapat, bahwa ketidakpastian tersebut
merupakan salah satu bentuk gharar
yang terbesar larangannya.
4.
Tidak ada
kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual. Umpamanya: penjual
berkata : “Saya jual sepeda yang ada di rumah saya kepada
anda”,tanpa menentukan ciri-ciri sepeda tersebut secara tegas. Termasuk ke
dalam bentuk ini adalah menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak
dikonsumsi.
5.
Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus
dibayar. Umpanya : orang berkata.”Saya jual beras kepada anda sesuai dengan
harga yang berlaku pada hari ini”. Padahal jenis beras juga bermacam-macam dan
harganya juga tidak sama.
6.
Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad.
Umpanya: “Saya jual kepadamu jika Zainal datang”. Jual beli semacam ini
termasuk gharar,karena objek akad dipandang belum ada.
7.
Tidak ada ketegasan bentuk transaksi,yaitu ada 2 macam
atau lebih yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi
mana yang dipilih waktu terjadi akad[12]. Umpanya: Seorang pedagang menawarkan barang
dagangannya dengan dua cara; kalau di bayar dengan cicilan selama 1 bulan
harganya Rp 100.000,- tetapi kalau dibayar dengan waktu cicilan 3 bulan maka
harganya Rp 150.000,-. Pembeli menyetujui untuk membeli barang tersebut,
sedangkan nama pembayarannya baru akan di tentukan pada 1 bulan berikutnya
dengan berdasarkan kemampuan bayar dari pembeli.[13]
8.
Tidak ada kepastian objek akad, karena ada 2 objek akad
yang berbeda dalam satu transaksi. Umpanya: Salah satu dari potong yang berbeda
mutunya dijual dengan harga yang sama.
9. Kondisi objek akad,tidak dapat dijamin kesesuaiannya
dengan yang ditentukan dalam transaksi.
Umpanya : Menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit,di dalamnya terdapat
jual beli gharar,karena baik penjual maupun pembeli berspekulasi dalam
transaksi ini.[14]
10. Jual beli husha’ misalnya : pembeli memegang
tongkat,jika pembeli menjatuhkan tongkat wajib membeli.
11. Jual beli munababzah,
yaitu jual beli dengan cara lempar-melempari,seperti seseorang melempar
bajunya,kemudian yang lain pun melempar bajunya maka jadilah jual beli.
b.
Yang di perbolehkan
Jual-beli yang mengandung gharar, menurut
hukumnya ada tiga macam.
1)
Yang disepakati larangannya dalam jual-beli,
seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
2)
Disepakati kebolehannya,
seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta
hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya
jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang
secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun
hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi
rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung
hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau
cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya.
Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama
menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang
ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah”
.
Ibnul Qayyim juga mengatakan : “Tidak semua
gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak
mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual
beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut
hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya
saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam
(pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan
gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”.
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan,
terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya.
Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil
dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut
dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang
diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun
tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam
An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat
untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah,
atau ghararnya ringan.
3)
Gharar yang masih diperselisihkan, apakah
diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual
sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan
lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar
dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya
perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang
ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual,
sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i
dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas
darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim
merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan
: “Dalam permasalahan ini,madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu
diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini
dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan
sebagainya”
Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli
yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut,
karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas.[16]
TABEL AYAT GHARAR
NO
|
BENTUK KATA
|
SURAH:AYAT
|
FREKUENSI
|
KETERANGAN
|
1
|
Gharra
|
8:49
|
1
|
Madaniyah
|
2
|
Gharrahum
|
3:24
|
1
|
Madaniyah
|
3
|
Gharraka
|
82:6
|
1
|
Makkiyah
|
4
|
Gharrakum
|
57:14
|
1
|
Madaniyah
|
5
|
Gharrat-humu
|
6:70
|
3
|
Makkiyah
|
6:130
|
Makkiyah
|
|||
7:51
|
Makkiyah
|
|||
6
|
Gharratkumu
|
45:35
|
2
|
Makkiyah
|
57:14
|
Madaniyah
|
|||
7
|
Gharuru
|
31:33
|
3
|
Makkiyah
|
35:5
|
Makkiyah
|
|||
57:14
|
Madaniyah
|
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah lam bin Ibrahim,Fiqh Finansial,Era Intermedia,Solo
2005
Abdullah Yusuf Ali,Qur’an Terjemahan dan Tafsirny,Jakarta:Pustaka
Firdaus,1993
Adiwarman A. Karim, Bank Isam Analisis Fiqih dan keuangan,
Jakarta:Rajawali Pers,2009
Afzalur Rahman,Doktrin
Ekonomi Islam Jilid 4,Jakarta,PT.Dana Bhakti Wakaf,1995
Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir AL-Maraghi,Semarang:PT.
Karya Toha Putra,1993
Bukhrari Alma dan Donni Juni Priansah,Manajemen Bisnis Syari’ah,Bandung:Alfabeta,2009
H.Hendi Suhendi,Membahas
Ekonomi Islam, Jakarta,Rajawali Pers,2011
H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru
Algesindo,Bandung,1954
M.Ali Hasan,Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam,Jakarta:Rajawali Pers,2004
Madani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah,Jakarta:Rajawali
Pers,2011
Syekh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam,Jakarta:Kencana,2006
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi,Tafsir Sya’rawi,Jakarta:Duta
Azhar,2004
[1] Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi
Islam Jilid 4,(Jakarta,PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) h. 161
[2] M.Ali Hasan,Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h. 147
[4] Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi
Islam Jilid 4,(Jakarta:PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) h. 162
[5] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi,Tafsir Sya’rawi,(Jakarta:Duta
Azhar,2004) h. 598
[6] Madani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah(Jakarta:Rajawali
Pers,2011) h.112-113
[7] Syekh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam,(Jakarta:Kencana,2006)
h.44
[8] Abdullah Yusuf Ali,Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya,(Jakarta:Pustaka
Firdaus,1993) h.188
[9] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir AL-Maraghi,(Semarang:PT. Karya
Toha Putra,1993) h. 26-27
[10] Abdullah lam bin Ibrahim,Fiqh Finansial,(Era Intermedia,Solo 2005)
h.131-134
[11] H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,(Sinar Baru
Algesindo,Bandung,1954) h.279-282
[12] M.Ali Hasan,Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h. 149
[13] Adiwarman A. Karim, Bank Isam Analisis Fiqih dan keuangan,
(Jakarta:Rajawali Pers,2009) h. 34
[14] M.Ali Hasan,Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h.148-149
[15] Bukhrari Alma dan Donni Juni Priansah,Manajemen Bisnis Syari’ah,(Bandung:Alfabeta,2009)
h.253
[16]http://mahir-al-hujjah.blogspot.com,11-04-2013
No comments:
Post a Comment