Wikipedia

Search results

Saturday, September 13, 2014

MAKALAH GHARAR(الْغَرَرِ)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam di samping membahas masalah ibadah-ibadah ritual yang bersifat mahdah, Islam juga membahas permasalahan jual beli secara mendetail. Dalam Islam tidak mengenal dikotomi antara aktivitas duniawi dengan ukhrawi. Setiap aktivitas dunia senantiasa berkaitan erat dengan aktivitas akhirat sehingga harus berada dalam bingkai ajaran Islam.
Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rezeki supaya kehidupan mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia.
Dalam beberapa hadist Rasulullah SAW memberikan dorongan kepada ummatnya untuk mencari rezeki dengan berusaha dan berdagang. Rasulullah sendiri adalah contoh seorang pedagang yang sukses.
Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian tak terkecuali jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk perdagangan Islam mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan syirkah.
B.     Tujuan Penulisan
Karena islam merupakan agama yang mengatur menyeluruh,sampai kepada yang kecil islam mengatur seluruh kegiatan yang sehingga terhindar dari mudharat. kami berharap dengan adanya makalah ini,kami harap kepada kawan-kawan agar terhindar dari perniagaan atau jual beli yang mengandung gharar karena mudharatnya bisa menghancurkan ukhuwah yang ada di ummat islam ini.
C.    Batasan Masalah
Dalam ruang lingkup permasalahan makalah kami ini,kami membatasi isi makalah ini dalam sebuah ruang lingkup permasalahan jual beli yang mengandung dan segala yang berkaitan tentang ini.  

JUAL BELI
GHARAR(الْغَرَرِ)
Surah al baqarah : 188

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)

Artinya: ”Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.”
K

ata gharar di dalam Al-qur’an diulang sebanyak 13 kali dengan segala derivasinya. Di dalam ayat di atas dijelaskan bahwa apabila melakukan perniagaan kita mestinya harus dilakukan suka sama suka agar tidak ada yang dirugikan. Salah satu perniagaan yang dapat merugikan baik penjual ataupun pembeli adalah dengan jual beli yang mengandung gharar. Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan. Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya,atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.[1]
     Menurut M.Ali Hasan gharar adalah keraguan,tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsure penipuan,karena tidak ada kepastian, baik yang mengenai ada atau tidak ada objek akad,besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut.[2]

Kembali kepada ayat di atas, dalam kitab asbabun nuzul yang di tulis oleh K.H.Q.SHALEH,H.A.A.DAHLAN,dkk ayat ini turun berkenaan dengan Umru-ul Qais bin ‘abdan bin Asywa’ al-Hadlrami yang bertengkar dalam soal tanah. Umru-ul Qais berusaha mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan sumpah di depan hakim.ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan batil.[3] 

Jika kita kaitkan dengan jual beli gharar kata  “Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil” merupakan suatu contoh jual beli gharar. Dimana apabila seseorang melakukan jual beli yang mengandung gharar akan dikategorikan sebagai memakan harta orang dengan cara yang batil dimana kalau kita lihat pengertian gharar ini adalah ketidakjelasan. Dan akan mempunyai potensi untuk merugikan baik si penjual ataupun si pembeli. Sebagai contoh :
Ada seseorang yang memiliki pohon durian dan pohon tersebut nampak memilki bunga,si A yang merupakan sorang penjual buah durian di pasar membayar buah durian tersebut sebelum matang atau masih dalam keadaan bunga. Si B pun menyetujuinya dan menerima uang dari si A yang telah membayar pohon si B. Suatu saat si A ingin memanen buah yang telah di belinya tersebut kepada si B tetapi kenyataanya buah tersebut kebanyakan rusak,tidak sesuai dengan harapan si A.
           
     Dalam contoh di atas jelas kita lihat bahwa si A dirugikan karena tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan si A. Islam merupakan agama yang paling sempurna melarang jual beli seperti itu. dalam buku yang ditulis oleh  Afzalur Rahman kitab suci Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur  kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain : Hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan,atau memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau resiko. Yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya.[4]

Menurut Syekh Muhammad Mutawally Sya’rawi,pada ayat di atas Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta disini adalah milik umum. Terkadang harta itu milik pribadi,namun dalam waktu yang sama di dalam harta pribadi itu terdapat juga di dalamnya milik orang lain,dalam hal ini harta itu dapat dikategorikan milik orang banyak. Penentu dari perputaran harta milik umum itu adalah Allah bukan yang lainnya. Karena dengan menuruti hukum Allah tidak akan terjadi penzaliman terhadap harta orang lain.

     Ayat ini juga mengandung hukum pelarangan dari segala bentk pencurian,perampokan,pencopetan dan korupsi. Seakan-akan Allah Swt mengatakan: ”Jangan sekali-kali kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu,” karena jika kamu berkhianat berarti kamu telah memakan harta dengan batil.[5]

Hadis larangan menjual makanan sebelum matang:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan hingga tampak matangnya, beliau melarang hal itu kepada penjual dan pembeli. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallu 'alaihi wa sallam seperti hadits di atas.

Kesimpulan Hadis:
1)    Larangan menjual buah-buahan sebelum tampak matang.
2)      Larangan itu mengharuskan kerusakan,sehingga jual bel buah-buahan yang belum matang tidak sah.
3)    Boleh menjualnya setelah tampak matang,dengan syarat pemutusan pada saat itu pula
4)      Hikmah larangan ini,bahwa sebelum matang,buah-buahan masih rentan terhadap kerusakan dan gangguan. Jika buah-buahan rusak, maka pembelilah yang harus menanggungnya,sehingga tidak ada manfaat yang dia peroleh,sehingga penjual dianggap mengambil harta orang lain.[6]

      Menurut Abdul Halim Hasan adapun maksud “Memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil” ialah mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak dibolehkan syarak,sekalipun yang memiliki harta merasa ridha dan senang hati menyerahkan hartanya itu.[7]           

 Konsep gharar dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1)    Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan,probabilitas dan ketidakpastian secara dominan.
2)    Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

A.  DASAR HUKUM GHARAR
Ø  Pada Hadits Rasulullah.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar

D
ari sabda Rasulullah di atas jelas telah dikatakan Rasulullah SAW bahwa jual beli gharar itu merupakan hal yang dilarang jadi tidak ada alasan untuk kita untuk melakukan jual beli yang seperti ini. Sangat besar mudharatnya apabila kita sebagai ummat beliau melakukan ataupun melanggar larangan beliau karena ini akan menimbulkan sebuah perpecahan di internal ummat islam sendiri dan akan menimbulkan kebencian karena telah terjadi kecurangan antara penjual dan pembeli.
 Jika kita kaitkan kepada kehidupan kita sekarang, kita mungkiin akan di belit oleh masalah hukum yang memang telah di tegakkan di sekitar kita. Tetapi jika kita kaitkan ke kehidupan akhirat, kita akan mendapatkan belasan dari Allah SWT sesuai dengan kalam Allah di Al-qur’an pada surah Al-Zalalah ayat 8 :

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨)

dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”
               
            Gharar merupakan suatu kegiatan yang memilki potensi untuk membuat kita meraup untung sebanyak-banyaknya,makanya manusia bisa terlena ke dalam jual beli ini. Dan nabi Muhammad SAW merupakan sosok nabi terakhir yang di turunkan untuk menyempurnakan akhlak-akhlak manusia yang kurang sesuai dengan syari’at islam. Dan melarang ummatnya melakukan jual beli gharar karena pada masa itu jual beli ini marak terjadi pada ummat islam pada saati itu dan sekarang.

Ø  Pada Surah An-Nisa : 29

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً

Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu.”
     Menurut Abdullah Yusuf Ali ayat ini mengandung makna:
(1)  semua harta kekayaan kita yang kita pegang sebagai amanat,baik itu atas nama kita,atau kepunyaan masyarakat atau rakyat di bawah pengawasan kita,pemborosannya tidak dibenarkan.

(2)  kita menjumpai ayat yang sama dalam Al-Baqarah ayat 188 yang memberi peringatan kepada kita terhadap sifat serakah. Disini terdapat isyarat yang mendorong kita agar dalam mengembangkan harta ditempuh cara perdagangan (lalu lntas niaga).

(3) kepada kita diingatkan bahwa keborosan dapat menghancurkan kita sendiri. Tetapi disini juga terdapat makan yang lebih bersifat umum: kita harus berhati-hati terhadap hidup kita   dan hidup orang lain. Tidak boleh kita memperlakukan kekerasan. Ini sebaliknya daripada “cara perdagangan atas dasar suka sama suka”.

(4) sikap kekerasaan terhadap saudara-saudara kita sediri sungguh tidak pantas,mengingat Allah mencintai kita dan selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya.[8]

     Menurut Maraghi di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah:

1.    Dasar halalnya perniagaan adalah saling meridhai antara pembeli dan penjual. Penipuan,pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal yang diharamkan.

2.    Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap,hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.

3.    Mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan batil. Sebab pembatasan nilai sesuatu dan menjadikan harganya sesuai dengan ukurannya berdasar neraca yang lurus hampir-hampir merupakan sesuatu yang mustahil. Oleh sebab itu, disini berlaku toleransi jika salah satu diantara dua benda pengganti lebih besar daripada yang lainnya,atau yang menjadi penyebab tambahnya harga itu adalah kepandaian pedagang di dalam menghiasi barang-barang dagangannya,dan melariskannya dengan perkataan yang indah tanpa pemalsuan dan penipuan.[9]



B.     CARA MENGHINDARI PERNIAGAAN YANG MENGANDUNG GHARAR.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩) 

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

D
alam ayat ini di jelaskan bahwa kita dituntut agar melakukan jual beli dengan ikhlas dan suka sama suka. Di dalam buku Abdullah lam bin Ibrahim yang berjudul Fiqh Finansial di  muat suatu syarat perniagaan yang baik berkenaan dengan ayat di atas karena kita di suruh leh ALLAH SWT untuk melakukak perniagaan yang baik dan sesuai dengan syari’at islam. Adapun syarat untuk melakukan  perniagaan dengan baik adalah :
1.    Beriman kepada ALLAH Swt.
Hal itu,karena amal perbuatan harus dilandasi oleh keimanan agarmenjadi amal yang dapat diterima,dan termasuk di dalam amal tersebut adalah membelanjakan harta. Adapun dalilnya adalah :

قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ (٥٣)وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلا وَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)
Artinya:
53. Katakanlah: "Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, Namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik.
54. dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.

 Ayat ini memberikan pengarahan,bahwa sesungguhnya yang menghalangi diterimanya pengeluaran infaq kaum uslimin adalah lantaran kefasikan dan kekufuran mereka kepada ALLAH Swt. dan Rasul-Nya,dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa syarat di terimanya infaq adalah harus ada keimanan kepada ALLAH SWT.

2.    Ikhlas karena ALLAH Swt semata.
setiap muslim ketika membelanjakan harta benda dan berinfaq harus meluruskan niatnya,agar itu benar-benar ikhlas karena ALLAH semata tidak bo;eh bercampur dengan sifat riya’nya dan juga demi mengharapkan ridha Allah Swt. sedangkan dalilnya sebagai berikut :


لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلأنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ (٢٧٢)

272. bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).

Ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar berinfak dengan niat untuk memperoleh ridha Allah Swt semata,dan itulah yang disebut ikhlas.
3.    Usaha yang baik
Di antara syarat diterimanya infak dan pembelanjaan harta benda adalah,harta tersebut harus diperoleh dengan cara yang disyariatkan dan baik,bukan dengan cara yang diharamkan. 

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)

276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.


 Ayat ini menerangkan bahwa,sesungguhnya Allah Swt tidak akan menerima sedekah,hajinya,jihadnya dan silaturahminya orang-orang yang mempraktikkan riba. Sesungguhnya Allah Swt menumbuhkan dan menyuburkan sedekah di dunia dengan keberkahan, dan memperbanyak pahalanya dengan berlipat ganda di akhirat.[10]

C.     RUKUN JUAL BELI

s
elain kita tahu cara untuk melakukan perniagaan yang baik maka lebih baik mengetahui rukun jual beli agar tidak melenceng dari syari’at islam. Rukun merupakan suatu pedoman atau pembimbing agar tidak keluar dari koridor yang telah di tentukan. Karena kalau sudah keluar dari koridor yang telah ditentukan maka akan berpotensi untuk melakukan suatu perniagaan yang bathil. Misalnya itu gharar. Adapun rukunnya yaitu :

1.    Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah :
a)    Berakal
b)    Dengan kehendak sendiri(suka sama suka)
c)    Tidak mubazzir
d)   Baligh
2.    Uang dan benda yang di beli
Syaratnya adalah :
a)    Suci,Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan,  seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b)    Ada manfaatnya,tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalm arti menyia-nyiakan(memboroskan) harta yang terlarang dalam Al-Qur’an.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)

27.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

c)    Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya akan yang ada dalm laut,barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya,barang yang sedang dijaminkan,sebab semua itu mengandung tipu daya.
d)   Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,kepunyaan yang diwakilinya,atau yang mengusahakannya.
e)    Barang tersebut diketahui si penjual dan si pembeli baik itu zat,kadar,sifatnya dengan jelas sehingga antara keduanya tidak ada lagi unsur tipu daya.
3.    Lafaz ijab dan kabul
Ijab adalah perkataan si penjual, dan kabul adalah perkataan si pembeli.Menurut kebanyakan ulama suka sama suka diketahui dengan jelas melalui perkataan yaitu ijab dan kabul. Tetapi menurut Nawawi, Mutawali, Bagawi, lafaz itu bukan merupakan rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz,lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat :
a)    Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya sala satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b)    Makna keduanya hendaklah mufakat walaupun lafaz kedua-duanya berlainan.
c)    Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain,seperti katanya,”Kalau saya jadi pergi,saya jual barang ini sekian.”
d)   Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.[11]

D.   Bentuk-Bentuk jual beli gharar.
a.      Yang dilarang
Menurut ulama fiqih, bentuk-bentuk gharar yang di larang adalah :

1.    Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada. Umpamanya : menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya.
2.    Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain.
Akad semacam ini mengandung gharar, karena terdapat kemungkinan rusak atau hilang objek akad, sehingga akad jual beli pertama dan yang kedua menjadi batal.
3.    Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
Wahbah az-Zuhaili berpendapat, bahwa ketidakpastian tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
4.    Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual. Umpamanya: penjual berkata : “Saya jual sepeda yang ada di rumah saya kepada anda”,tanpa menentukan ciri-ciri sepeda tersebut secara tegas. Termasuk ke dalam bentuk ini adalah menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak dikonsumsi.
5.    Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Umpanya : orang berkata.”Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini”. Padahal jenis beras juga bermacam-macam dan harganya juga tidak sama.
6.    Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad. Umpanya: “Saya jual kepadamu jika Zainal datang”. Jual beli semacam ini termasuk gharar,karena objek akad dipandang belum ada.
7.    Tidak ada ketegasan bentuk transaksi,yaitu ada 2 macam atau lebih yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad[12]. Umpanya: Seorang pedagang menawarkan barang dagangannya dengan dua cara; kalau di bayar dengan cicilan selama 1 bulan harganya Rp 100.000,- tetapi kalau dibayar dengan waktu cicilan 3 bulan maka harganya Rp 150.000,-. Pembeli menyetujui untuk membeli barang tersebut, sedangkan nama pembayarannya baru akan di tentukan pada 1 bulan berikutnya dengan berdasarkan kemampuan bayar dari pembeli.[13]
8.      Tidak ada kepastian objek akad, karena ada 2 objek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Umpanya: Salah satu dari potong yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama.
9.      Kondisi objek akad,tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam  transaksi. Umpanya : Menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit,di dalamnya terdapat jual beli gharar,karena baik penjual maupun pembeli berspekulasi dalam transaksi ini.[14]
10.  Jual beli husha’ misalnya : pembeli memegang tongkat,jika pembeli menjatuhkan tongkat wajib membeli.
11. Jual beli munababzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-melempari,seperti seseorang melempar bajunya,kemudian yang lain pun melempar bajunya maka jadilah jual beli.

12.  Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain,maka wajib membelinya.[15].

b.      Yang di perbolehkan

Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.
1)    Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).

2)    Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.

Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah” .

Ibnul Qayyim juga mengatakan : “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”.

Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.

Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau ghararnya ringan.

3)    Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.

Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Dalam permasalahan ini,madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu
diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”
Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas.[16]


TABEL AYAT GHARAR
NO
BENTUK KATA
SURAH:AYAT
FREKUENSI
KETERANGAN
1
Gharra
8:49
1
Madaniyah
2
Gharrahum
3:24
1
Madaniyah
3
Gharraka
82:6
1
Makkiyah
4
Gharrakum
57:14
1
Madaniyah
5

Gharrat-humu
6:70
3
Makkiyah
6:130
Makkiyah
7:51
Makkiyah
6
Gharratkumu
45:35
2
Makkiyah
57:14
Madaniyah
7
Gharuru
31:33
3
Makkiyah
35:5
Makkiyah
57:14
Madaniyah








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah lam bin Ibrahim,Fiqh Finansial,Era Intermedia,Solo 2005
Abdullah Yusuf Ali,Qur’an Terjemahan dan Tafsirny,Jakarta:Pustaka Firdaus,1993
Adiwarman A. Karim, Bank Isam Analisis Fiqih dan keuangan, Jakarta:Rajawali Pers,2009
Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,Jakarta,PT.Dana Bhakti Wakaf,1995
Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir AL-Maraghi,Semarang:PT. Karya Toha Putra,1993
Bukhrari Alma dan Donni Juni Priansah,Manajemen Bisnis Syari’ah,Bandung:Alfabeta,2009
H.Hendi Suhendi,Membahas Ekonomi Islam, Jakarta,Rajawali Pers,2011
H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru Algesindo,Bandung,1954
M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,Jakarta:Rajawali Pers,2004
Madani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah,Jakarta:Rajawali Pers,2011
Syekh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam,Jakarta:Kencana,2006
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi,Tafsir Sya’rawi,Jakarta:Duta Azhar,2004



















[1] Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,(Jakarta,PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) h. 161
[2] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h. 147
[3] K.H.Q.SHALEH,H.A.A.DAHLAN,dkk, Asbabun nuzul,(Bandung,CV penerbit Diponegoro,2009)h.54
[4] Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,(Jakarta:PT.Dana Bhakti Wakaf,1995) h. 162
[5] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi,Tafsir Sya’rawi,(Jakarta:Duta Azhar,2004) h. 598
[6] Madani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah(Jakarta:Rajawali Pers,2011) h.112-113
[7] Syekh Abdul Halim Hasan Tafsir Al-Ahkam,(Jakarta:Kencana,2006) h.44
[8] Abdullah Yusuf Ali,Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1993) h.188
[9] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir AL-Maraghi,(Semarang:PT. Karya Toha Putra,1993) h. 26-27
[10] Abdullah lam bin Ibrahim,Fiqh Finansial,(Era Intermedia,Solo 2005) h.131-134
[11] H.Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,(Sinar Baru Algesindo,Bandung,1954) h.279-282
[12] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h. 149
[13] Adiwarman A. Karim, Bank Isam Analisis Fiqih dan keuangan, (Jakarta:Rajawali Pers,2009) h. 34
[14] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Rajawali Pers,2004) h.148-149
[15] Bukhrari Alma dan Donni Juni Priansah,Manajemen Bisnis Syari’ah,(Bandung:Alfabeta,2009) h.253

No comments:

Post a Comment