BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam suatu aktivitas perusahaan dipengaruhi
oleh faktor-faktor dari luar dan dalam, yang kesemuanya dapat disebut sebagai stake holders. Kelangsungan hidup
perusahaan bergantung pada dukungan stake
holders dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan
adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful Stake holders, makin besa Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa
perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya dan
pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka
Pemegang
saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham, termasuk hak untuk
memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki) dalam hal
seperti pemilihan dewan direksi,
hak untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak untuk membeli saham baru
yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap asetperusahaan pada saat likuidasi perusahaan.
r
usaha perusahaan untuk beradaptasi.
Agency Theory menunjukkan bahwa
perusahaan dapat dilihat sebagai suatu hubungan kontrak (loosely defined)
antara pemegang sumber daya. Suatu hubungan agency muncul ketika satu atau
lebih individu, yang disebut pelaku (principals), mempekerjakan satu atau lebih
individu lain, yang disebut agen, untuk melakukan layanan tertentu dan kemudian
mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen. Hubungan utama
agency dalam bisnis adalah mereka (antara pemegang saham dan manajer dan) 1 (2)
antara debtholders dan pemegang saham. Hubungan ini tidak selalu harmonis,
memang, teori keagenan berkaitan dengan konflik agency, atau konflik
kepentingan antara agen dan pelaku
1.2.Rumusan Masalah
A. Apa
yang dikatakan Teory Stockholder ?
B. Apa
yang dikatakan Teory Shareholder ?
C. Apa
yang dikatakan Teory Keagenan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.STAKE HOLDER THEORY
A.
PENGERTIAN
STAKE HOLDER THEORY
Definisi stake holders menurut Freeman (1984) merupakan
individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh organisasi
sebagai dampak dari aktivitas-aktifitasnya. Sedangkan Chariri dan Ghazali
mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stake holder-nya (share
holders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak
lain). Sedangkan Rudito mengemukakan bahwa perusahaan dianggap sebagai stake
holders, jika mempunyai tiga atribut, yaitu: kekuasaan,legitimasi, dan
kepentingan.
Mengacu pada pengertian stake holders diatas, maka dapat ditarik suatu penjelasan bahwa dalam suatu
aktivitas perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dan dalam, yang
kesemuanya dapat disebut sebagai stake holders. Kelangsungan hidup
perusahaan bergantung pada dukungan stake holders dan dukungan tersebut
harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan
tersebut. Makin powerful Stake holders, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi.
Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan
dengan stake holders-nya (Chariri dan Ghazali).
Kesali
dalam Wibisono membagi Stake holders menjadi sebagai berikut:
1.
Stake
holedrs Internal dan Stakeholders Eksternal
Stakeholder internal
adalah stakeholders yang berada didalam lingkungan organisasi. Misalnya
karyawan, Manajer, dan Pemegang saham (shareholder). Sedangkan stakeholders
eksternal adalah stakeholders yang berada diluar lingkungan organisasi
seperti Penyalur atau Pemasok, Konsumen atau Pelanggan, Masyarakat, pemerintah,
Pers, Kelompok social responsible investor, licensing partner dan
lain-lain.
2.
Stakeholders
primer, sekunder dan marjinal
Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan.
Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stake holders yang paling
penting disebut stakeholders primer, stakeholders yang kurang
penting disebut stakeholders sekunder dan yang biasa diabaikan disebut stakeholder
marginal. Urutan prioritas ini berbeda bagi setiap perusahaan meskipun
produk atau jasanya sama. Urutan ini juga bisa berubah dari waktu kewaktu.
3.
Stakeholders
Tradisional dan stakeholders masa
depan.
Karyawan dan konsumen
dapat disebut sebagai stakeholders tradisional, karena saat ini sudah
berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan adalah stakeholders
pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada
organisasi seperti mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial.
4.
Proponents,
opponents, dan uncommited.
Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi (proponents),
menentang organisasi (opponents) dan ada yang tidak peduli atau abai
(uncommited). Organisasi perlu mengenal stakeholders yang
berbeda-beda ini agar dapat melihat permasalahan, menyusun rencana dan strategi
untuk melakukan tindakan yang proporsional.
5.
Silent
Majority dan vokal minority.
Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain
atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan pertentangan atau
dukungannya secara vokal (aktif) namun ada pula yang menyatakan secara silent
(pasif).
Menurut Hill, stakeholders dalam
pelayanan sosial meliputi negara, sektor pivat, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), dan masyarakat, dan kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut
terlibat secara bersama-sama. Sementara mereka memiliki kepentingan
berbeda-beda yang satu dengan yang lain bisa saling bersebrangan dan sangat
mungkin merugikan pihak yang lain.
B.
STAKEHOLDER
UTAMA CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) :PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN
Menurut Utama, bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya
terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap para stakeholders
yang terkait dan yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Dalam
menetapkan dan menjalankan strategi bisnisnya, perusahaan yang menjalankan CSR
akan memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial dan lingkungan, dan
berupaya agar memberikan dampak positif. Utama menyatakan bahwa pemerintah
beserta segenap jajarannya perlu memahami konteks CSR, karena ada keterpaduan
dengan program pemerintah. Bukan tidak mungkin bila pemahaman terhadap konsep
ini tidak sejajar, maka kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak akan
pernah sejalan dengan kebijakan dunia usaha. Perlunya pemerintah duduk bersama
dengan pelaku usaha, untuk mengkomunikasikan apa yang dibutuhkan masyarakat
secara bersama, memberikan gambaran rencarana kerja pemerintah yang terkait
dengan kepentingan publik. Dengan demikian ada komunikasi dua arah, sehingga
kemungkinan adanya kerja saama antara pemerintah dengan perusahaan menjadi
terbuka semakin lebar, sehingga tidak terjadi overlapping program antara
pemerintah dan perusahaan.
Asumsi teori stakeholder dibangun
atas dasar pernyataan bahwa perusahaan berkembang menjadi sangat besar dan
menyebabkan masyarakat menjadi sangat terkait dan memerhatikan perusahaan,
sehingga perusahaan perlu menunjukkan akuntabilitas maupun reponsibilitas
secara lebih luas dan tidak terbatas hanya kepada pemegang saham. Hal ini berarti,
perusahaan dan stakeholder membentuk hubungan yang saling memengaruhi.
Warsono mengungkapkan bahwa terdapat
tiga argumen yang mendukung pengelolaan perusahaan berdasarkan perspektif teori
stakeholder yakni argumen deskriptif, argumen instrumental, dan argumen
normatif, berikut penjelasan singkat mengenai ketiga argumen tersebut:
1.
Argumen
deskriptif menyatakan bahwa pandangan pemangku kepentingan secara sederhana
merupakan deskripsi yang realistis mengenai bagaimana perusahaan sebenarnya
beroperasi atau bekerja. Manajer harus memberikan perhatian penuh pada kinerja
keuangan perusahaan, akan tetapi tugas manajemen lebih penting dari pada itu.
Untuk dapat memperoleh hasil yang konsisten, manajer harus memberikan perhatian
pada produksi produk-produk berkualitas tinggi dan inovatif nagi para pelanggan
mereka, menarik dan mempertahankan karyawan-karyawan yang berkualitas tinggi,
serta mentaati semua regulasi pemerintah yang cukup kompleks. Secara praktis,
manajer mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak
hanya terhadap pemilik saja.
2.
Argumen
instrumental menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku kepentingan dinilai
sebagai suatu strategi perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang mempertimbangkan
hak dan memberi perhatian pada berbagai kelompok pemangku kepentingannya akan
menghasilkan keinerja yang lebih baik.
3.
Argumen
normatif menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku kepentingan merupakan hal
yang benar untuk dilakukan. Perusahaan mempunyai penguasaan dan kendali yang
cukup besar terhadap banyak sumber daya, dan hak istimewa ini menyebabkan
adanya kewajiban perusahaan terhadap semua pihak yang mendapat efek dari
tindakan-tindakan perusahaan.
1.
Identifikasi
Stakeholder
Pemangku kepentingan dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan atas jenis dan sejauh mana
kepentingan kelompok tersebut terhadap perusahaan. Hal ini penting dilakukan
untuk membantu analisis perusahaan mengenai tindakan serta perhatian apa yang
dibutuhkan oleh masing-masing stakeholder.
Freman mengidentifikasi perubahan
yang dapat terjadi pada lingkungan perusahaan kedalam dua kategori, yakni
internal dan eksternal. Bagian dari lingkungan internal adalah:
1.
Pemilik
perusahaan
2.
Konsumen
3.
Karyawan
4.
Pemasok
Sedangkan yang termasuk bagian dari lingkungan eksternal terdiri
atas:
1.
Pemerintah
2.
Kompetior
3.
Advokasi
konsumen
4.
Pemerhati
lingkungan
5.
Special
Interest group (SIG)
6.
Media
Warsono berdasarkan pengelompokan
yang dikembangkan oleh Lawrence dan Weber, mengategorikan stakeholder menjadi
dua kelompok, yaitu:
1.
Pemangku
Kepentingan Pasar
Pemangku kepentingan pasar adalah
pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomik dengan perusahaan yang
berkaitan dengan pelaksanaan tujuan utama perusahaan untuk menyediakan barang
dan jasa bagi masyarakat. Pemangku kepentingan pasar sering kali juga disebut
pemangku kepentingan primer (primary stakeholder). Kelompok-kelompok pemangku
kepentingan yang ditetapkan sebagai pemangku kepentingan pasar meliputi
pemegang saham, kreditur, pemasok, pelanggan, dan
distributor/pedagangbesar/pengecer.
2.
Pemangku
Kepentingan Non Pasar
Pemangku kepentingan non pasar
adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang walaupun tidak terlibat dalam
pertukaran ekonomi langsung dengan perusahaan, dipengaruhi oleh atau dapat
mempengaruhi tindakan perusahaan. Pemangku kepentingan non pasar sering kali
juga disebut kepentingan sekunder (secondary stakeholder). Kelompok-kelompok
pemangku kepentingan yang dikategorikan sebagai pemangku kepentingan non pasar
meliputi, komunitas, berbagai level pemerintahan, kelompok-kelompok aktivis,
organisasi non pemerintah, media, kelompok pendukung bisnis, dan masyarakat
umum.
Beberapa individu atau kelompok
dapat memainkan multi peran sebagai pemangku kepentingan. Para ahli menyebut
fenomena ini sebagai role sets. Misalnya, seorang dapat bekerja pada
suatu perusahaan, dan sekaligus juga tinggal dari komunitas disekitar
perusahaan, memiliki saham perusahaan dalam akun pensiunnya, dan bahkan membeli
produk yang dihasilkan perusahaan tersebut dari waktu kewaktu. Individu ini
mempunyai beberapa peran pemangku kepentingan perusahaan.
Perusahaan juga harus melakukan
analisis stakeholder sehingga mampu mengetahui kebijakan dan tindakan apa yang
akan ditempuh oleh perusahaan. Analisis pemangku kepentingan mencakup:
1.
Identifikasi
pemangku kepentingan yang relevan
2.
Kepentingan
pemangku kepentingan
3.
Kekuatan
pemangku kepentingan
4.
Koalisi
pemangku kepentingan
Dari tinjauan islam identifikasi
stakeholder dari perspektif teori konvensional masih memiliki kekurangan yang
dianggap fundaamental, yakni belum memasukkan unsur yang bersifst spritual,
yaitu hubungan manusia yangmenjalankan proses bisnis dengan Tuhan. Dimana Allah
SWT sebagai pemilik mutlak dari segala sesuatu akan meminta pertanggung jawaban
manusia atas apa yang telah mereka lakukan.
Hubungan manusia dengan Tuhan
dilaksanakan dengan menjalankan perintah dan larangannya baik yang berkaitan
dengan aqidah, syariah, maupun akhlak. Dan ketiga hal ini senantiasa saling
berhubungan. Berkaitan dengan proses bisnis yang merupakan hubungan antara
sesama manusia syariah islam memberikan aturan yang disebutkan dalam sebagai Muamalah.
Chaptra dan Ahmed menyatakan bahwa “The most important stakeholder in the
case of islamic finance is islam itself.” Dengan demikian institusi
keuangan islam harus senantiasa memerhatikan nilai-nilai islam dalam
menjalankan bisnisnya.
Sebagai mana Allah berfirman dalam Q.S
Al-Maidah:56-57
`tBur ¤AuqtGt ©!$# ¼ã&s!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¨bÎ*sù z>÷Ïm «!$# ÞOèd tbqç7Î=»tóø9$# ÇÎÏÈ $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#räÏGs? tûïÏ%©!$# (#räsªB$# óOä3uZÏ #Yrâèd $Y6Ïès9ur z`ÏiB úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB óOä3Î=ö6s% u$¤ÿä3ø9$#ur uä!$uÏ9÷rr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# bÎ) LäêYä. tûüÏZÏB÷sB ÇÎÐÈ
Artinya:
Dan barang siapa mengambil Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan pemimpinmu
orang-orang yang membuat agamamu sebagai ejekan dan permainan, (yaitu) diantara
orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman. (Al-Maidah 56-57)[1]
1.2.SHARE
HOLDER VALUE THEORY
a. Pengertian Shareholders
Secara umum berarti pemegang saham dalam sebuah perusahaan, entah yg
minoritas / mayoritas, biasanya berada di luarperusahaan. Pemegang saham (bahasa Inggris: shareholder atau stockholder
adalah seseorang atau badan hukum yang secara
sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham adalah pemilik
dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek berusaha untuk meningkatkan harga
sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa perusahaan hanya
memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan
seharusnya bekerja demi keuntungan mereka
Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham,
termasuk hak untuk memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang
dimiliki) dalam hal seperti pemilihan dewan direksi, hak untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak
untuk membeli saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap asetperusahaan pada saat likuidasi perusahaan. Namun, hak pemegang saham
terhadap aset perusahaan berada di bawah hak kreditor perusahaan. ini berarti bahwa pemegang saham
biasanya tidak menerima apa pun bila suatu perusahaan yang dilikuidasi setelah kebangkrutan (bila perusahaan tersebut memiliki
lebih untuk membayar kreditornya, maka perusahaan tersebut tidak akan
bangkrut), meskipun sebuah saham dapat memiliki harga setelah kebangkrutan bila
ada kemungkinan bahwa hutang perusahaan akan direstrukturisasi.[2]
b. Shareholder Value Perspective
Shareholder
Value Perspective menekankan profitabilitas di atas tanggungjawab
(responsibilitas) dan melihat perusahaan sebagai alat bagi pemiliknya.
Pendukung shareholder value percaya bahwa keberhasilan perusahaan bisa diukur
dari harga saham, dividen dan economic profit, dan melihat manajemen stakeholder
sebagai alat bukan tujuan itu sendiri. Pendukung Shareholder Value Persepective
berpendapat bawah tanggungjawab sosial bukan urusan perusahaan dan klaim dari
masyarakat akan paling baik dilayani oleh perusahaan- perusahaan bila mereka
mengejar kepentingan sendiri dan efisiensi ekonomi. Filosofi shareholder value
tidak menutup mata terhadap tuntutan oleh stakeholder lainnya terhadap
perusahaan. Namun, menyadari bahwa perhatian ke stakeholder lainnya penting
bukan berarti tujuan perusahaan adalah melayani mereka. Tujuan perusahaan yang
paling utama adalah memaksimalkan shareholder value, dalam batasan
diperbolehkan oleh hukum. Pendukung shareholder value perspective yakin bahwa
masyarakat mendapatkan layaran terbaik oleh rational ekonomi. Tanggungjawab
untuk lapangan kerja, komunitas lokal, lingkungan, dan pengembangan sosial
bukan urusan perusahaan, tetapi lebih baik ditinggalkan untuk individu dan
pemerintah. Dengan mengejar kepentingan sendiri dan memelihara hubungan
berdasarkan pasar antara perusahaan dengan seluruh stakeholder, pengejaran
nilai maksimal bagi pemegang saham akan menghasilkan kekayaan masyarakat
dimaksimalkan.
c. Stakeholder Value Perspective
Stakeholder
Value Perspective mengutamakan tanggung jawab di atas profitabilitas dan
melihat organisasi terutama sebagai koalisi untuk melayani semua pihak yang
terlibat. Pendukung Stakeholder Value percaya bahwa sukses suatu organisasi
seharusnya diukur dengan kepuasan diantara seluruh stakeholder dan melihat
manajemen stakeholder sebagai alat dan tujuan. Mereka percaya bahwa
tanggungjawab sosial (social responsibility) adalah urusan perusahaan dan klaim
masyarakat paling baik dilayani dengan mengejar kepentingan bersama dengan
intensi meningkatkan kekayaan bersama. Pendukung perspektif ini menolak memberi
pemegang saham klaim moral yang lebih tinggi pada organisasi daripada pemberi
sumberdaya lainnya. Mengakui klaim moral oleh stakeholder lainnya (selain
pemegang saham) berarti memasukkan nilai selain nilai keuangan ke dalam
spektrum apa yang harus dikejar oleh organisasi.
Manajemen
stakeholder bukan hanya instrumental dalam menciptakan nilai bagi pemegang
saham, namun normative. Karena memiliki karyawan yang bermotivasi tinggi dan
membina kepercayaan tinggi dari seluruh pihak yang berhubungan dengan
perusahaan, mengejar kepentingan bersama dari seluruh stakeholder tidak hanya
lebih adil, namun juga memaksimalkan kekayaan masyarakat (social wealth).
d. Mensinergikan Kepentingan Shareholder dan Stakeholder
Sebenarnya
tugas untuk menyeimbangkan ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah atau
regulator. Pemerintah atau regulator seharusnya mengatur keadaan sehingga
perusahaan tidak beroperasi dalam lingkungan monopoli yang bisa menyebabkan
maksimalisasi nilai perusahaan dengan kerugian pada masyarakat luas. Untuk
itulah dibuat undang-undang anti monopoli.
Bila
fungsi kontrol dari pemerintah berjalan dengan baik, perusahaan tidak akan
mampu memaksimalkan nilai perusahaan (firm value) dengan mengorbankan
kepentingan grup lainnya atau masyarakat luas. Tindakan perusahaan yang
menyebabkan kerugian kepada grup lainnya harus dibayar perusahaan dengan
membayar ganti rugi ke pihak yang dirugikan maupun melalui denda yang
diterapkan pemerintah.
Selain
kontrol dari pemerintah, perusahaan juga harus menjaga kepentingan dari
stakeholder lainnya demi kelangsungan bisnisnya dalam jangka panjang. Bila
perusahaan tidak memperhatikan kepentingan karyawan, mungkin karyawan tidak
akan bekerja dengan sepenuh hati sehingga produktivitas perusahaan berkurang.
Begitu juga pelanggan yang diperlakukan tidak adil mungkin tidak akan membeli
produk perusahaan tersebut lagi.
Singkatnya,
perusahaan yang memaksimalkan nilai tetap harus memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya. Tanpa perhatian kepada kepentingan stakeholder lainnya,
bukan tidak mungkin kepentingan perusahaan dalam jangka panjang akan terganggu.
Mengingat nilai perusahaan tergantung dari arus kas perusahaan dalam jangka
panjang, terganggunya kepentingan perusahaan dalam jangka panjang akan
mengurangi arus kas perusahaan dalam jangka panjang, sehingga akan mengurangi
nilai perusahaan.
Apakah
memang penting bagi perusahaan untuk memperhatikan kepentingan berbagai
stakeholder? Tentu saja, karena perusahaan dapat menghasilkan keuntungan
maksimal secara langgeng jika mendapatkan dukungan penuh dari seluruh
stakeholder. Yang diperlukan adalah bagaimana mensinergikan kepentingan
shareholder dengan kepentingan stakeholder lainnya, sehingga memberikan manfaat
optimal bagi semua pihak. Namun tentu saja tidak berarti bahwa perusahaan harus
memikirkan kepentingan stakeholder lainnya diatas kepentingan pemegang saham.
Bagaimana
kalau kepentingan stakeholder lainnya yang diutamakan diatas kepentingan
shareholder? Coba bayangkan misalnya rumah dikelola dengan teori stakeholder
yang mengutamakan kepentingan stakeholder lainnya diatas kepentingan pemilik
rumah. Maka, halaman anda akan menjadi taman publik, juga garasi anda mungkin
akan menjadi ruang serbaguna untuk karang taruna. Yang pasti kita akan
kehilangan privacy. Itu sebabnya mengapa perusahaan harus dikelola sesuai
tujuan didirikannya perusahaan sebagai perwujudan kepentingan pemegang saham.
Namun
mengutamakan kepentingan pemegang saham tanpa mempertimbangkan kepentingan
stakeholder yang mempunyai risiko (stake) dalam kelangsungan hidup perusahaan
juga tidak sepenuhnya benar. Perusahaan umumnya sudah bukan dimiliki oleh
individu, apalagi dengan model peningkatan modal melalui pasar modal.
Perusahaan kini dimiliki oleh banyak pemegang saham, dan manajemennya
diserahkan kepada profesional. Ditambah lagi ada saja pemegang saham yang
menyertakan modalnya untuk tujuan spekulasi pasar. Pemegang saham jenis ini
dipastikan tidak terlalu peduli dengan kebijakan perusahaan, karena belum tentu
memiliki kepentingan yang sama untuk menjaga kelangsungan perusahaan.
Keterlibatan stakeholder dalam pengoperasian perusahaan juga bisa menimbulkan
banyak gangguan terhadap proses manajemen, itu sebabnya perlu ada batasan
keikutsertaan stakeholder dalam operasional perusahaan.
Jika
pendekatan stakeholder diterapkan, maka model yang baik seharusnya dapat
membantu mengatasi kompleksitas persoalan yang ada. Dalam pengelolaan
perusahaan, pemegang saham perlu diberikan porsi perhatian yang cukup. Namun,
menjadikan perusahaan warga negara yang baik juga merupakan hal penting bagi
perusahaan maupun komunitas. Umumnya dalam jangka panjang akan membantu
meningkatkan nilai tambah bagi pemegang saham.
Bagaimana
kita mensinergikan kepentingan berbagai pihak? Tentu saja model tersebut perlu
disesuaikan dengan sistem hukum, perbedaan kepentingan, karakter bisnis,
kondisi lingkungan, serta kultur bangsa. Model tersebut harus tetap menjaga
keberadaan pengendalian risiko dalam setiap proses bisnis juga mampu menangkap
peluang bisnis. Kita perlu mendefinisikan apa sebenarnya kepentingan
stakeholder, komponen didalamnya, serta bobot yang wajar dari setiap komponen.
Dengan demikian kepentingan stakeholder bisa dipastikan dapat bersinergi dengan
kepentingan pemegang saham.
Dalam melakukan sinergi, kepentingan berbagai pihak
diselaraskan dengan tujuan perusahaan. Salah satu cara adalah dengan menerapkan
Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi bagian integral strategi
perusahaan. CSR disini memasukkan berbagai komponen tanggungjawab perusahaan
terhadap stakeholder dan juga tanggung jawab perusahaan dalam meningkatkan
keuntungan.[3]
1.3.AGENCY THEORY
a.
Pengertian teory agen
Menurut
Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent.
Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi
oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan
antara principal dan agent.
Agency Theory menunjukkan bahwa
perusahaan dapat dilihat sebagai suatu hubungan kontrak (loosely defined)
antara pemegang sumber daya. Suatu hubungan agency muncul ketika satu atau
lebih individu, yang disebut pelaku (principals), mempekerjakan satu atau lebih
individu lain, yang disebut agen, untuk melakukan layanan tertentu dan kemudian
mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen. Hubungan utama
agency dalam bisnis adalah mereka (antara pemegang saham dan manajer dan) 1 (2)
antara debtholders dan pemegang saham. Hubungan ini tidak selalu harmonis,
memang, teori keagenan berkaitan dengan konflik agency, atau konflik kepentingan
antara agen dan pelaku. Hal ini memiliki implikasi untuk, antara lain, tata
kelola perusahaan dan etika bisnis. Ketika agency terjadi cenderung menimbulkan
biaya agency, yaitu biaya yang dikeluarkan dalam rangka untuk mempertahankan
hubungan agency yang efektif (misalnya, menawarkan bonus kinerja manajemen
untuk mendorong manajer bertindak untuk kepentingan pemegang saham). Oleh
karena itu, teori keagenan telah muncul sebagai model yang dominan dalam
literatur ekonomi keuangan, dan secara luas dibahas dalam konteks etika bisnis.
Agency Theory secara
formal berasal pada awal tahun 1970, namun konsep di balik itu memiliki sejarah
panjang dan beragam. Di antaranya adalah pengaruh teori properti-hak, ekonomi
organisasi, hukum kontrak, dan filsafat politik, termasuk karya Locke dan
Hobbes. Sebagian ilmuwan penting terlibat dalam periode formatif teori agensi
di tahun 1970-an termasuk Armen Alchian, Harold Demsetz, Michael Jensen,
William Meckling, dan S.A. Ross.[4]
Agency
theory merupakan salah satu teori yang muncul dalam
perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model
akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model
ekonomi. Dalam Agency Theory mengenal adanya Asymmetric
Information (AI) yaitu informasi yang tidak seimbang yang
disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal
dan agen.
Agency
Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam
perusahaan dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan
pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prisipal,
sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk
menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telah diamanat oleh prinsipal kepadanya.. Inti
dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan
kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal
terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).
b.
Landasan Teori Agen
Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan
dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:
(a) Asumsi tentang sifat
manusia
Asumsi
tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
(b) Asumsi tentang
keorganisasian
Asumsi
keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,efisiensi sebagai
kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara
prinsipal dan agen.
(c) Asumsi tentang
informasi.
Asumsi
tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang
bisa diperjual belikan.
Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai
bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada
informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional
perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara
riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam
pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka
panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap
menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.
Adanya
posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda
saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam
praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh
dan kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai
penyedia informasi bagi prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya
sistematis yang dapat menghambat prisipal dalam pengambilan keputusan strategis
melalui penyediaan informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak
prinsipal selaku pemilik modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena
ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan
wewenang yang tak terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang
semakin tajam yang akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada
akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan
sebagai orang ekonomik (homo economicsus) yang
berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya masing-masing.
Dalam konsep Agency Theory, manajemen
sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the
shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya
mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen
bisaa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara
keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan.
Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak
menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan
kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency
Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asimmetric
Information.
Asimmetric
Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang
disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal
dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun
ternyata informasi tentang ukuran keberhasilanyang diperoleh oleh prinsipal
tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh
prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen
yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang dipercakan kepada
agen.
Akibatnya
adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua)
permsalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan
melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan permasalahan tersebut adalah :
(a) Moral Hazard
Yaitu permasalahan
yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama
dalam kontrak kerja.
(b) Adverse Selection
Yaitu suatu
keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang
diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah
diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Adanya
agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang
menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :
(a) The monitoring expenditures by the priciple
Biaya
monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk
juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget
restriction, compensation policies.
(b) The bonding expeditures by the agent
The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa
agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal
atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak
mengambil banyak tindakan.
(c) The residual loss
Merupakan
penurunan tingkat kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency
relationship.
Dari
penambahan diatas, bila dibuatkan ringkasan tentang asumsi dan penerapan agency
theorydalam organisasi akan tampak dalam label 1 dibawah ini :
Tabel 1. Asumsi Dasar dalam Agency Theory
Asumsi
Manusia
|
: Homo Economicus, yang memaksimalkan
utilitasnya
|
Model
Perilaku
|
: Self serving behavior
|
Fakta
Penerapannya
|
: Prinsipal dan agen cenderung menerapkan
tujuan secara kaku (rigid)
|
Akibat
yang timbul
|
: Conflict of Interest
|
Konsekuensi
|
: Timbul agency cost dalam mengawasi
kinerja manager / agen
|
Pemecahan
|
: Sharing rule antara prinsipal dan agen
perlu dibuat
|
Reward
|
: Ekstrinsik, yaitu komoditi berwujud dan
bisa dipertukarkan dan memiliki nilai pasar yang bisa diukur
|
Asumsi
Informasi
|
: Sebagai komoditi yang dapat diperjual
belikan
|
c.
Aplikasi Agency
Theory pada Pengelolaan Perusahaan.
Konsep
pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham
dan pengelolaan(management) para agen atau manger dalam perusahaan
telah menjadi kajian sejak tahun 1930-an. Manajemen perusahaan publik yang
besar biasanya bukan pemilik. Bahkan sebagaian besar manjemen puncak (top
mangement) hanya memiliki saham nominal dalam peerusahaan yang mereka
kelola.
Bila
dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan kebutuhan
GCG, dari perspektif Agency Theory, Tabel 2 berikut ini
menunjukan perkembangan akan kebutuhan GCG pada teori korporasi
klaasik.modern,dan post-modern.[5]
Tabel 2. Perkembangan
Teori Korporasi dan Implikasinya Terhadap Good Coorperate Governance
TEORI KORPORASI KLASIK
|
TEORI KORPORASI MODERN
|
TEORI KORPORASI POST-MODERN
|
KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan
single majority shreholders.
2.Prinsipal merangkap
sebagai agen.
3.Keseimbangan
kepentingan antara prinsipal dan agen tidak penting.
|
KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan
banyak pemegang saham, namun masih ada kepemilikan mayoritas.
2.Fungsi Prinsipal dan
Agen mulai terpisah.
3.Meskipun pemilik
mayoritas masih memiliki otoritas yang besaar, kepentingan pemegang saham
minoritas sudah diperhatikan.
|
KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan
banyak pemegang saham, dan tidak ada kepemilikan mayoritas.
2.Sulit untuk
mengidentifikasi the true principal.
3.Prinsipal umumnya
tidak atau kurang memahami bisnis.
4.Agen memiliki
pengaruh yang besar dalam menjalankan perusahaan.
5.Terjadi
ketidakseimbangan kepentingan (conflict of interest).
|
IMPLIKASI:
Aspek Good Corporate Governance tidak diperlukan.
|
IMPLIKASI :
Aspek Good Corporate Governance mulai diperlukan.
|
IMPLIKASI :
Aspek Good Corporate Governance sangat diperlukan.
|
Dalam
uraian diatas tentang Agency Theory diatas disebutkan bahwa
adanya perilaku dari manager/agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan
dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat
terjadi karena manjer mempunyai informasi yang lengkap mengenai perusahaan,
sedangkan informasi tersebut tidak dimilki oleh pemilik perusahaan (dalam hal
ini timbulAsymmetric Information atau AI).
Adanya AI dan Self
Serving Behavior pada manager/agen, memungkinkan mereka untuk
mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena
tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya
kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan. Agency Theory menganalisis
dan mencari solusi atas dua permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para
prinsipal (pemilik/pemegang saham) dan agen (manajemen).[6]
BAB III
KESIMPULAN
Definisi stake holders menurut Freeman (1984) merupakan
individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh organisasi
sebagai dampak dari aktivitas-aktifitasnya. Kesali
dalam Wibisono membagi Stake holders menjadi sebagai berikut:
1. Stake holedrs Internal dan Stakeholders
Eksternal
2. Stakeholders primer, sekunder dan marjinal
Shareholder Secara umum berarti pemegang saham dalam sebuah
perusahaan, entah yg minoritas / mayoritas, biasanya berada di luar
perusahaan. Pemegang
saham adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham adalah pemilik
dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek berusaha untuk meningkatkan harga
sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa perusahaan hanya
memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan
seharusnya bekerja demi keuntungan mereka.
Menurut
Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent.
Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi
oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan
antara principal dan agent.
Agency Theory menunjukkan bahwa
perusahaan dapat dilihat sebagai suatu hubungan kontrak (loosely defined)
antara pemegang sumber daya. Suatu hubungan agency muncul ketika satu atau
lebih individu, yang disebut pelaku (principals), mempekerjakan satu atau lebih
individu lain, yang disebut agen, untuk melakukan layanan tertentu dan kemudian
mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen. Hubungan utama
agency dalam bisnis adalah mereka (antara pemegang saham dan manajer dan) 1 (2)
antara debtholders dan pemegang saham. Hubungan ini tidak selalu harmonis,
memang, teori keagenan berkaitan dengan konflik agency, atau konflik
kepentingan antara agen dan pelaku. Hal ini memiliki implikasi untuk, antara
lain, tata kelola perusahaan dan etika bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Veithzal
Rivai,Islamic Human Capital,Jakarta
PT.Raja Grafindo Persada 2009
Anthony, Robert N. dan Vijay
Govindarajan.2005. Management
Control Systems. Salemba
Empat: Jakarta
[4] Anthony, Robert N. dan Vijay Govindarajan.2005. Management Control Systems. Salemba Empat: Jakarta. H.176-177
No comments:
Post a Comment