Wikipedia

Search results

Tuesday, May 10, 2016

UMKM Menurut Pandangan Islam.



UMKM Dalam Perspektif Syariah
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship) ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat; memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini.
Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus reziko. Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepre mancanegara yang pawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukanlah Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai abad ke -13 M, oleh para pedagang muslim.[1]
Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah meubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan. Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang. Di samping menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah Pantura, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang). Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga sebagai pengusaha tangguh, Abdul Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin. Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” Jika ditinjau dari asal katanya, Entrepreneurship merupakan istilah bahasa perancis yang memiliki arti ‘between taker’ atau ‘go-between’. Contoh yang sering digunakan untuk menggambarkan pengertian ‘gobetween’ atau ‘perantara’ ini adalah pada saat Marcopolo yang mencoba merintis jalur pelayaran dagang ke timur jauh.
Untuk melakukan perjalanan dagang tersebut, Marcopolo tidak menjual barangnya sendiri. Dia hanya membawa barang seorang pengusaha melalui penandatanganan kontrak Dia setuju menandatangani kontrak untuk menjual barang dari pengusaha tersebut. Dalam kontrak ini dinyatakan bahwa si pengusaha memberi pinjaman dagang kepada Marcopolo. Dari penjualan barang tersebut, Marcopolo mendapat bagian 25%, termasuk asuransi. Sedangkan pengusaha memperoleh keuntungan lebih dari 75%. Segala macam resiko dari perdagangan tersebut ditanggung oleh pedagang, dalam hal ini Marcopolo. Jadi, pada masa itu wiraswasta digambarkan sebagai usaha, dalam hal contoh ini perdagangan, yang menggunakan modal orang lain, dan memperoleh bagian ( yang lebih kecil daripada pemilik modal ) dari usaha tersebut. Di sini, segala resiko usaha tersebut menjadi tanggunganwiraswastawan. Pemilik modal tidak menanggung resiko apa pun.  Jika kita ikuti perkembangan makna pengertian entrepreneur, memang mengalami perubahan-perubahan.  Namun, sampai saat ini, pendapat Joseph  Schumpeter pada tahun 1912 masih diikuti banyak kalangan, karena lebih luas. Menurut Schumpeter, seorang entrepreneur tidak selalu seorang pedagang (businessman) atau seorang manager; ia adalah orang yang unik yang berpembawaan pengambil resiko dan yang memperkenalkan produk-produk inovatif dan tehnologi baru ke dalam perekonomian. Namun secara pribadi, entrepreneur  menurut saya adalah seorang yang memiliki dorongan untuk  menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan, disertai  modal dan resiko, serta menerima balas jasa dan  kepuasan serta kebebasan pribadi atas usahanya tersebut. Namun perlu diingat bahwa pengertian dari entrepreneurship memang terlihat lebih mudah dari padajika anda melaksanakannya langsung.
UMKM sangat erat kaitannya dengan berdagang, Berusaha atau berdagang suatu anjuran kepada umat islam. Menurut penulis, Allah menciptakan Rasul Nya sebagai pedagang adalah suatu  sindiran keras  kepada  ummatNya agar meniru Rasulullah. Berdagang adalah profesi yang mulia dalam Islam. Buktinya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri adalah pedagang dan beliau memuji serta mendoakan para pedagang yang jujur. Rasulullah adalah pedagang ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi istri beliau. Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan. Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah mendengar tentang Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah. Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam, didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah. Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan kepada para pedagangnya yang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” [2]
Para sahabat Nabi adalah pedagang mungkin kita semua ingat kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu’anhu, bagaimana kehebatan beliau dalam berdagang,
قدِمَ عبدُ الرحمَنِ بنُ عَوفٍ المدينَةَ، فآخَى النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بينَهُ وبينَ سعدِ بنِ الرَّبيعِ الأنْصاريِّ فعرَضَ عليهِ أنْ يُناصِفَهُ أهلَهُ ومالَهُ، فقال: عبدُ الرحمَنِ بارَكَ اللَّهُ لك في أهلِكَ ومالكَ دُلَّني علَى السُّوقِ، فرَبِحَ شَيئًا من أَقِطٍ وسَمْنٍ
Artinya :
“Abdurraman bin Auf ketika datang di Madinah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al Anshari. Lalu Sa’ad menawarkan kepada Abdurrahmah wanita untuk dinikahi dan juga harta. Namun Abdurrahman berkata: ‘semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, tapi cukup tunjukkan kepadaku dimana letak pasar’. Lalu di sana ia mendapatkan untung berupa aqith dan minyak samin” (HR Al Bukhari 3937)
Dan juga para sahabat Nabi yang lain, banyak yang merupakan pedagang. Abu Bakar radhiallahu’anhu adalah pedagang pakaian. Umar radhiallahu’anhu pernah berdagang gandum dan bahan makanan pokok. ‘Abbas bin Abdil Muthallib radhiallahu’anhu adalah pedagang. Abu Sufyan radhiallahu’anhu berjualan udm (camilan yang dimakan bersama roti). [3]
Sudah seharusnya peran dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan segala keterbatasannya mendapat apresiasi dari pemerintah dengan membuat kebijakan yang pro kepada UMKM. Kebijakan yang benar-benar dirasakan langsung oleh pelaku UMKM, bukan hanya sebuah retorika yang selalu menjadi angin surga dan komoditas politik ketika ingin mendapatkan kekuasaan.Sebab UMKM sudah terbukti menjadi penopang ekonomi bangsa kita.Sejarah membuktikan ketika hantaman badai krisis melanda Indonesia tahun 1998, perusahaan konglomerat berguguran satu persatu, tapi UMKM mampu bertahan dan memberi konstribusi besar pada penyelamatan ekonomi bangsa ini.
Membangun UKM harusnya menjadi pilihan mutlak bagi pemerintah baik di pusat maupun daerah.Membangun kemandirian UKM adalah sebuah kewajiban.Ada berapa alasan dan referensi yang mewajibkan kita harus melaksanakannya.Dalam Al-Quran Surat 59 ayat 7
!!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
Artinya :
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
Menurut para pakar, disebutkan bahwa Allah SWT melarang berputarnya harta (modal) hanya di kalangan orang-orang kaya saja. Dari ayat ini kita bisa belajar bahwa aktivitas perekonomian hendaknya melibatkan partisipasi aktif dari kelompok masyarakat menengah – bawah, yang notabenenya mayoritas penduduk di suatu negara. Rasulullah SAW dalam sabdanya menyatakan; “kalian akan ditolong oleh sebab kaum dhuafa di antara kalian”. Oleh karenanya kita mempunyai kewajiban menolong kaum lemah di negeri ini dengan mengembangkan UMKM secara bersama-sama. Sebuah studi yang dilakukan oleh Michigan State University, AS, di sejumlah negara, ternyata ditegaskan bahwa UMKM telah memberikan kontribusi nyata yang sangat berharga didalam menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. (M Umer Chapra dalam Islam and Economic Development).


[1]http://wirausahanet.tripod.com/.



[2]Sirah Ibnu Hisyam, 187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51
[3]Al Bayan Fi Madzhab Asy Syafi’i, 5/10

No comments:

Post a Comment